Singgung Single Bar, Menko Yusril dan Otto Hasibuan Diminta Rangkul Seluruh Organisasi Advokat

JAKARTA – Pernyataan Menteri Koordinator Bidang Hukum, Hak Asasi Manusia, Imigrasi, dan Pemasyarakatan, Yusril Ihza Mahendra tentang perlunya organisasi advokat (OA) bersifat tunggal menuai reaksi dari berbagai pihak. Dalam Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) di Bali pada 5–6 Desember 2024, Yusril menyatakan bahwa OA adalah lembaga negara (state organ) yang harus bersifat tunggal seperti lembaga negara lainnya.

“Kalau organ negara tidak bisa ada dua. Masak Kejaksaan Agung ada dua? Aneh. Masak Mabes Polri ada dua? ‘Kan tidak mungkin. Karena itu, Peradi sebagai state organ harus satu, tidak bisa dua,” ujar Yusril saat membuka Rakernas Peradi.

Pernyataan tersebut langsung mendapat kritik. Honorary Chairman Kongres Advokat Indonesia (KAI), Tjoetjoe Sandjaja Hernanto, menilai pernyataan Yusril keliru. Menurutnya, advokat tidak bisa disamakan dengan lembaga negara karena OA tidak dibiayai negara dan tidak dibentuk berdasarkan undang-undang (UU).

“State organ itu dibentuk oleh UU, seperti Kepolisian atau Mahkamah Agung. Advokat itu tidak dibentuk UU, melainkan oleh advokat itu sendiri. Jika mau menjadi state organ, seharusnya Dewan Advokat Nasional (DAN) dibentuk melalui UU,” tegas Tjoetjoe, Senin (9/12).

Tjoetjoe juga mengkritik wacana single bar. Meski diatur dalam UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat, menurutnya single bar sudah tidak relevan. Sejak diresmikan pada 2004, Peradi didirikan oleh delapan OA yang kini berdiri sendiri. Kondisi ini justru menimbulkan perpecahan dan lahirnya OA baru seperti KAI.

Penolakan terhadap single bar bukan bentuk pembangkangan, melainkan dorongan agar profesi advokat memiliki pengawasan yang lebih efektif. Namun, bentuknya bukan single bar, melainkan single regulator, yaitu DAN, yang bertindak sebagai pengatur kode etik, standardisasi pendidikan, serta ujian advokat.

“Silakan kalau Bang Otto mau pimpin DAN, sepanjang semua orang setuju. Tapi DAN itu regulator, bukan organisasi advokat. OA harus tetap hidup dan tidak boleh dipaksa disatukan,” tegasnya.

Tjoetjoe juga mengingatkan agar Prof. Yusril dan Prof. Otto Hasibuan sebagai pejabat publik bersikap netral dan tidak memihak satu golongan. Menurutnya, kedua tokoh tersebut harus merangkul seluruh organisasi advokat dan menjadi negarawan yang berada di tengah-tengah semua advokat di Indonesia.

“Prof. Yusril dan Prof. Otto bukan milik satu golongan, tetapi milik semua advokat. Saya harap keduanya tidak memaksakan single bar di tengah era multi bar yang sudah berjalan,” ujarnya.

Senada dengan Tjoetjoe, Sekjen Peradi RBA Imam Hidayat menyatakan bahwa pendirian Peradi sebagai wadah tunggal OA tidak meleburkan delapan organisasi pendiri. Menurutnya, Peradi hanya memiliki kewenangan terbatas dalam menyusun kode etik, standardisasi pendidikan, dan regulasi, sementara keanggotaan dikembalikan kepada masing-masing OA.

“Beberapa putusan Mahkamah Konstitusi menegaskan bahwa pendirian Peradi tidak berarti meleburkan delapan OA pendiri. Artinya, wadah tunggal profesi ini hanya berlaku untuk hal-hal tertentu,” jelas Imam.

Imam menilai solusi terbaik untuk pengawasan profesi advokat adalah dengan bentuk federatif melalui keberadaan DAN sebagai regulator. Hal ini dinilai lebih sesuai dengan kondisi geografis dan sosiologis di Indonesia.

“DAN akan mengatur kode etik, standardisasi pendidikan, ujian advokat, dan sumpah advokat. Saya berharap Prof. Yusril bisa mengundang tiga ketua umum Peradi dan mengambil langkah konkret untuk mewujudkan RUU Advokat,” pungkas Imam. (snl)